PENDIDIKAN + PERBEDAAN = TOLAK UKUR..?
Di banyak daerah sarana dan prasarana pendidikan amat memprihatinkan.
Kurangnya tenaga pengajar di pedalaman, banyak gedung sekolah tak layak
pakai, dan penggemblengan mental pengabdian pendidik, merupakan
pekerjaan besar yang harus diprioritaskan dan dituntaskan pemerintah.
Amat tidak masuk akal bila pemerintah tiba-tiba menetapkan standar
kelulusan secara nasional, sementara pembangunan dan pemajuan pendidikan
masih amat parsial. Meski pemerintah harus bertanggung jawab atas mutu
pendidikan nasional, pihak yang paling tahu tentang mutu dan kemampuan
anak didik adalah pendidik. Dengan demikian, tugas dan hak pendidiklah
untuk memberi penilaian. Penetapan standar nasional untuk kelulusan
mengandaikan mutu pendidikan di tiap daerah sama. Kenyataannya, masih
ada jurang perbedaan antara proses pendidikan di kota dan desa, bahkan
antarprovinsi dan pulau. Penetapan batas minimal kelulusan 5,0 memberi
gambaran, pemerintah memandang proses pendidikan hanya sebagai transfer
ilmu pengetahuan yang bisa mudah diukur dengan angka. Penetapan itu
mereduksi makna pendidikan sebagai sebuah proses pematangan pribadi
mencakup pengembangan, kognisi, afeksi, mental, dan kepribadian.
Sebenarnya pendidikan yang dimaksud bukan sekadar mencetak orang yang
pandai menghafal dan berhitung, tetapi melahirkan orang-orang berpribadi
matang. Pendidikan tidak hanya mengasah ketajaman otak, tetapi tempat
menyemai nilai-nilai dasar kehidupan guna menggapai masa depan dan hidup
bermasyarakat. Bangsa Indonesia membutuhkan sistem pendidikan seperti
itu, terutama untuk melahirkan generasi muda yang tangguh dan
bertanggung jawab, dan mampu memperbaiki kehidupan bangsa ini. Maka,
kengototan pemerintah untuk tetap melangsungkan ujian dengan standar
nasional, hanya karena ingin mendorong peserta didik bekerja keras,
tidak akan memberi dampak positif berkelanjutan bagi kematangan dan
kemandirian peserta didik. Bahkan standar itu tidak representatif
sebagai titik acuan untuk mengetahui kualitas pendidikan bangsa ini.
Melakukan perubahan yang memungkinkan pihak sekolah untuk bereksplorasi,
baik dalam program maupun kurikulum yang benar-benar kontekstual, yaitu
berdasarkan pada kebutuhan anak didik dan menyatu dengan budaya dan
karakter setempat. Jadi standar penilaian terletak pada tingkat
penambahan pengetahuan serta pengembangan kepribadian, seperti
menghargai orang lain, menghormati perbedaan, kedisiplinan, serta
bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian,
proses pendidikan tidak dapat dikotakkan dalam pendidikan formal
belaka, tetapi perlu dibuat sistem pendidikan berkesinambungan antara
sekolah, keluarga, dan masyarakat. Proses pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari ritme kehidupan masyarakat sebab masyarakat menentukan
proses pendidikan melalui nilai- nilai dan strukturnya. Sebaliknya
pendidikan menyumbangkan nilai-nilai untuk perubahan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar