Kamis, 15 Januari 2015

Pendidikan Harus Jadi Kegembiraan

Foto hitam putih itu menggambarkan sebuah halaman rumah sederhana. Pintu kayu, tembok tanpa pulasan cat, pagar semen setinggi lutut orang dewasa menghiasi halaman tersebut. Tikar pandan menjadi alas sederhana untuk duduk beberapa orang. Sekitar lima belas anak duduk menghadap seorang guru wanita. Mereka sedang bersiap untuk belajar.
Halaman di foto tersebut merupakan bagian dari salah satu Sekolah Taman Siswa di Bandung. Guru perempuan yang ada di foto itu adalah Ibu Soerjoadipoetro, salah seorang penggerak pendidikan Taman Siswa. Foto itu kini masih terarsip di Museum Tropen, Belanda.
Gambar dua dimensi tersebut boleh jadi sederhana, tapi pesannya begitu nyaring. Bahwa pendidikan adalah sebuah keseharian yang menyenangkan. Murid-murid yang hadir tak memakai seragam tapi semangat mereka tak bisa disepelekan.
Pembelajaran di Taman Siswa, Bandung mengingatkan saya pada konsep belajar tiga dinding yang dikenalkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar menyarankan ruang kelas hanya dibangun dengan tiga sisi dinding, sedangkan satu sisi lainnya lainnya terbuka. Ki Hadjar ingin menyatakan bahwa seharusnya tidak ada jarak antara dunia pendidikan di dalam kelas dengan realitas di luarnya. Sekali lagi ini bukti bahwa pendidikan harus hidup dan tumbuh sebagai sebuah keseharian yang menyenangkan.
Kini kita kerap menengok Finlandia saat bicara pendidikan. Apa yang dilakukan oleh Finlandia sebenarnya senada dengan konsep Ki Hadjar. Bahwa proses belajar harus menyenangkan.
Saatnya kita mengembalikan konsep pendidikan kita seperti yang diajarkan oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara. Bagi beliau, sekolah adalah taman, tempat bermain. Proses belajar itu mencerahkan, Pendidikan itu prosesnya equal, tapi merangsang pertumbuhan.
Mari kita buat proses belajar itu adiktif. Layaknya candu, ada keinginan untuk belajar terus. Ke depan, yang kita butuhkan bukan spesialis, melainkan learner, pembelajar. Kita harus mendidik orang menjadi pembelajar. Kalau bisa menjadi pembelajar, di peran apa pun dia akan bisa punya makna.
Untuk mewujudkan pendidikan menjadi kegembiraan tentu perlu sebuah perspektif baru. Kita bisa menengok kembali pada Ki Hadjar untuk menghadirkan perspektif ini. Pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi yang perlu dikembangkan anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.
Soal ekstrakurikuler misalnya, minat dan bakat anak-anak itu bervariasi. Tanyakan pada anak-anak ingin ekstrakurikuler apa? Jangan kita yang menentukan minat dan bakatnya. Selama ini ekstrakurikuler kita selera guru, selera dinas, selera yang sudah jadul. Maka jangan salahkan anak-anak ketika mereka memilih pulang daripada aktif di kegiatan ekskul.
Anak-anak kita akan hidup di masa depan dan kita mendidik anak-anak kita di zaman ini, bukan di zaman dulu.
Untuk melaksanakan itu kita perlu membuka pikiran kita. Tidak ada terobosan, tidak ada inovasi di sekolah, jika tidak ada guru yang inovatif. Guru tidak akan kreatif inovatif kalau tidak ada percikan rangsangan. Karena itu bagian dari tugas kementerian untuk merangsang itu.
Adalah tanggungjawab kita bersama untuk menciptakan pendidikan yang menyenangkan, bukan sebuah beban. Yang di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan. Konsep dari Ki Hadjar tersebut masih relevan sampai saat ini.
Kelak ketika kita lengah pada tanggungjawab ini, lihat kembali foto-foto Taman Siswa. Bahkan di masa ketika kita belum bisa teriak merdeka, para pendiri negeri ini telah mendorong pendidikan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Bayangkan ketika pulang sekolah nanti anak-anak kita bisa tersenyum sambil menceritakan beragam pengalaman di sekolah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar