Foto hitam putih itu menggambarkan sebuah halaman rumah sederhana.
Pintu kayu, tembok tanpa pulasan cat, pagar semen setinggi lutut orang
dewasa menghiasi halaman tersebut. Tikar pandan menjadi alas sederhana
untuk duduk beberapa orang. Sekitar lima belas anak duduk menghadap
seorang guru wanita. Mereka sedang bersiap untuk belajar.
Halaman
di foto tersebut merupakan bagian dari salah satu Sekolah Taman Siswa
di Bandung. Guru perempuan yang ada di foto itu adalah Ibu
Soerjoadipoetro, salah seorang penggerak pendidikan Taman Siswa. Foto
itu kini masih terarsip di Museum Tropen, Belanda.
Gambar dua
dimensi tersebut boleh jadi sederhana, tapi pesannya begitu nyaring.
Bahwa pendidikan adalah sebuah keseharian yang menyenangkan. Murid-murid
yang hadir tak memakai seragam tapi semangat mereka tak bisa
disepelekan.
Pembelajaran di Taman Siswa, Bandung mengingatkan
saya pada konsep belajar tiga dinding yang dikenalkan oleh Ki Hadjar
Dewantara. Ki Hadjar menyarankan ruang kelas hanya dibangun dengan tiga
sisi dinding, sedangkan satu sisi lainnya lainnya terbuka. Ki Hadjar
ingin menyatakan bahwa seharusnya tidak ada jarak antara dunia
pendidikan di dalam kelas dengan realitas di luarnya. Sekali lagi ini
bukti bahwa pendidikan harus hidup dan tumbuh sebagai sebuah keseharian
yang menyenangkan.
Kini kita kerap menengok Finlandia saat bicara
pendidikan. Apa yang dilakukan oleh Finlandia sebenarnya senada dengan
konsep Ki Hadjar. Bahwa proses belajar harus menyenangkan.
Saatnya kita mengembalikan konsep pendidikan kita seperti yang diajarkan
oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara. Bagi beliau, sekolah
adalah taman, tempat bermain. Proses belajar itu mencerahkan, Pendidikan
itu prosesnya equal, tapi merangsang pertumbuhan.
Mari kita buat
proses belajar itu adiktif. Layaknya candu, ada keinginan untuk belajar
terus. Ke depan, yang kita butuhkan bukan spesialis, melainkan learner,
pembelajar. Kita harus mendidik orang menjadi pembelajar. Kalau bisa
menjadi pembelajar, di peran apa pun dia akan bisa punya makna.
Untuk mewujudkan pendidikan menjadi kegembiraan tentu perlu sebuah
perspektif baru. Kita bisa menengok kembali pada Ki Hadjar untuk
menghadirkan perspektif ini. Pendidikan lebih didasarkan pada minat dan
potensi yang perlu dikembangkan anak didik, bukan pada minat dan
kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Anak-anak hidup dan tumbuh
sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun
tumbuhnya kodrat itu.
Soal ekstrakurikuler misalnya, minat dan
bakat anak-anak itu bervariasi. Tanyakan pada anak-anak ingin
ekstrakurikuler apa? Jangan kita yang menentukan minat dan bakatnya.
Selama ini ekstrakurikuler kita selera guru, selera dinas, selera yang
sudah jadul. Maka jangan salahkan anak-anak ketika mereka memilih pulang
daripada aktif di kegiatan ekskul.
Anak-anak kita akan hidup di masa depan dan kita mendidik anak-anak kita di zaman ini, bukan di zaman dulu.
Untuk melaksanakan itu kita perlu membuka pikiran kita. Tidak ada
terobosan, tidak ada inovasi di sekolah, jika tidak ada guru yang
inovatif. Guru tidak akan kreatif inovatif kalau tidak ada percikan
rangsangan. Karena itu bagian dari tugas kementerian untuk merangsang
itu.
Adalah tanggungjawab kita bersama untuk menciptakan
pendidikan yang menyenangkan, bukan sebuah beban. Yang di depan memberi
teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan.
Konsep dari Ki Hadjar tersebut masih relevan sampai saat ini.
Kelak ketika kita lengah pada tanggungjawab ini, lihat kembali foto-foto
Taman Siswa. Bahkan di masa ketika kita belum bisa teriak merdeka, para
pendiri negeri ini telah mendorong pendidikan sebagai sesuatu yang
menyenangkan. Bayangkan ketika pulang sekolah nanti anak-anak kita bisa
tersenyum sambil menceritakan beragam pengalaman di sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar