Ketika penulis atas nama pimpinan
Perguruan Nasional Tamansiswa menerima kunjungan Joko Widodo tanggal 3
Mei 2014 di Kompleks Pendopo Agung Tamansiswa Yogyakarta tempat Ki
Hadjar Dewantara mendidik cantrik dan mentriknya, ia berbicara mantap
mengenai pentingnya pendidikan karakter bagi anak didik.
Di depan rumah Bapak Pendidikan
Nasional Ki Hadjar yang sekarang menjadi Museum Dewantara Kirti Griya,
dan di hadapan ratusan pamong dan siswa Tamansiswa, Joko Widodo (Jokowi)
dengan gamblang menyatakan sekitar 75 persen kurikulum pendidikan dasar
adalah karakter, sekitar 50 persen kurikulum pendidikan menengah adalah
karakter, dan sekitar 25 persen kurikulum pendidikan tinggi adalah
karakter.
Boleh jadi permasalahan karakter
itulah yang sesungguhnya menjadi ”pertimbangan tersembunyi” Anies
Baswedan sebagai menteri pendidikan untuk menghentikan implementasi
Kurikulum 2013 di luar 6.221 sekolah (uji coba).
Sebab, Kurikulum 2013 dianggap tidak
optimal mengakomodasi pendidikan karakter sebagaimana ditekankan Jokowi,
maka dihentikanlah kurikulum baru tersebut. Jokowi adalah presiden dan
Anies Baswedan sebagai menteri pendidikan adalah pembantunya.
Ruh pendidikan
Karakter, Ki Hadjar menyebutnya
sebagai budi pekerti, merupakan inti dari pendidikan, bahkan ada yang
menyebutnya sebagai ruh pendidikan.
Bagi Ki Hadjar, pendidikan harus mampu
menuntun tumbuhnya karakter dalam hidup Sang Anak (anak didik) supaya
mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan susila.
Kecerdasan memang diperlukan segenap
anak didik, tetapi karakter lebih diperlukan. Kecerdasan tanpa diimbangi
karakter justru akan menjerumuskan kehidupan anak didik itu sendiri.
Dalam konteks pengembangan kurikulum,
maka substansi pendidikan karakter bersifat mutlak. Permasalahannya,
apakah pendidikan karakter harus menjadi mata pelajaran? Dalam hal ini
Ki Hadjar bersikap bijak dengan menyatakan pendidikan karakter itu wajib
diberikan kepada anak meskipun tidak harus menjadi mata pelajaran
tersendiri. Ini berarti pendidikan karakter bisa menjadi mata pelajaran
tersendiri, tetapi bisa juga terintegrasi pada mata pelajaran lain.
Bagaimana cara menyampaikan pendidikan
karakter? Menurut Ki Hadjar ada empat tingkatan, yakni syari’at,
hakikat, tarikat, dan makrifat.
Tingkat syari’at cocok diberikan
kepada anak yang sangat muda, dalam hal ini anak TK. Metodenya dengan
membiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum, misalnya mengucapkan
salam ketika bertemu teman, memberikan hormat ketika bertemu guru, dan
mencium tangan ketika berhadapan dengan orangtua.
Tingkat hakikat cocok diberikan kepada
murid SD. Anak dibiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum, dalam
waktu bersamaan diberi pengertian mengapa harus berbuat demikian.
Contohnya, di samping dibiasakan
mengucapkan salam sewaktu bertemu teman, mereka juga diberi pengertian
tentang pentingnya mengucap salam itu; misalnya dapat menimbulkan ikatan
hati dan keakraban lahir-batin antarteman.
Tingkat tarikat cocok diberikan kepada
siswa SMP. Siswa dibiasakan berperilaku baik, diberi pengertian
pentingnya hal itu dilakukan; bersamaan waktunya disertai aktivitas
pendukung yang cocok.
Misalnya bagaimana anak-anak tersebut
berkesenian, berolah puisi, berolahraga, dan bersastraria sambil berolah
budi. Contohnya adalah anak-anak SMP dilatih menari ”halus” sambil
dijelaskan makna gerakan yang ada di dalamnya untuk menanamkan karakter.
Tingkat makrifat cocok diberikan
kepada siswa SMA. Anak disentuh pemahaman dan kesadarannya sehingga
berperilaku baik bukan sekadar kebiasaan, melainkan berkesadaran di
lubuk hatinya untuk melakukan hal tersebut. Sang anak mengerti maksud
berperilaku baik; dan perilakunya tersebut dijalankan berdasarkan
kesadaran diri.
Semua guru
Apakah pendidikan karakter hanya
diberikan oleh guru Agama dan guru PKn? Tidak! Di majalah Poesara edisi
Februari 1954, Ki Hadjar menyatakan, pendidikan karakter wajib
disampaikan kepada siswa oleh semua guru.
”Pengajaran budi pekerti sebaiknya
diberikan secara spontan oleh sekalian pamong, setiap ada kesempatan dan
tidak harus menurut daftar pelajaran. Pendidikan budi pekerti harus
diberikan oleh tiap-tiap pamong, baik mengajarkan bahasa, sejarah,
kebudayaan maupun ilmu alam, ilmu pasti, menggambar, dan sebagainya,” tulisnya.
Jelas sekali bahwa pendidikan karakter
itu harus disampaikan oleh semua guru di sekolah. Dalam hal ini oleh
guru kelas I-VI di SD berbasis guru kelas; guru kelas VII-IX pengampu
mata pelajaran apa pun di SMP yang berbasis guru mata pelajaran; serta
guru kelas X-XII pengampu mata pelajaran apa pun di SMA dan SMK yang
berbasis guru mata pelajaran.
Konsep pendidikan karakter Ki Hadjar
tersebut sesungguhnya memberi arahan yang jelas dalam pengembangan
kurikulum pendidikan kita baik secara substansif, metodologis, maupun
teknis pelaksanaan.
Kiranya apa yang dinyatakan Jokowi di depan rumah Ki Hadjar tempo hari
sangat in line dengan konsep
pendidikan karakter Ki Hadjar. Apakah hal ini akan ditindaklanjuti oleh
Anies Baswedan dalam pengembangan kurikulum pendidikan kita?
Semoga demikian adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar