APA sumbangan pendidikan Indonesia untuk perdamaian dunia? Jawabannya ialah sumbangan mencetak calon pemimpin dunia yang problem solver.
Hasrat itu akan terwujud jika pendidikan dalam praktik dan teorinya
mengutamakan arti penting pemecahan masalah. Resolusi konflik bermula
dari pendidikan.
Memandang suatu masalah sebagai masalah
dan menanganinya hingga ke akar itulah makna resolusi konflik, atau yang
biasa kita dengar dengan istilah pemecahan masalah (problem solving). Dunia yang aman dan damai bergantung pada pemimpin-pemimpin yang berkehendak sebagai problem solver.
Sayangnya, kini tidak banyak pemimpin yang seperti itu.
Potret Aylan Kurdi membuktikan, untuk ke
sekian kalinya, para pemimpin dunia telah gagal dalam mengatasi
masalah.Anak Suriah berusia tiga tahun itu ditemukan di tepi Pantai
Turki di tengah-tengah perjuangannya bersama ayah, ibu, dan seorang
saudaranya mencapai Pulau Kos, Yunani. Semuanya tewas, kecuali sang
ayah. Potretnya menggemparkan dunia, tertelungkup lengkap dengan baju
dan sepatu yang masih melekat di badannya seperti sedang tertidur pulas,
tapi ternyata sudah tak bernapas.
Kematian Aylan Kurdi ialah potret abadi
penderitaan manusia yang, selain para pemimpin, kita turut andil di
dalamnya. Kita sudah mendengar sejumlah warga negara Indonesia yang
‘berjihad’ bersama Islamic State (IS). Suara lantang dari
Indonesia menentang intervensi militer AS bersama sekutu terhadap IS
juga tidak terdengar. Lantas, apa upaya fundamental yang sudah kita
desakkan untuk menghentikan kekerasan yang ada?
Niat IS dan AS bersama sekutunya
berbeda,—-yang satu ingin mendirikan negara Islam dan satunya
menciptakan keamanan dan perdamaian-tapi kelakuan keduanya sama-sama
menggelorakan kekerasan yang justru memperumit masalah yang ada. Kini,
beberapa negara Eropa dipusingkan dengan masalah pengungsi.
Prinsip resolusi konflik
Gagasan pentingnya pemecahan masalah
terdengar utopis, teoretis, normatif, rumit, atau lama. Yang justru
dibutuhkan sekarang ialah aksi nyata dan hasil cepat. Namun, bukannya
yang utopis, teoretis, normatif, rumit, atau lama yang justru selama ini
mungkin kita abaikan sehingga tragedi Aylan Kurdi terjadi. Intervensi
militer AS, misalnya, merupakan contoh konkret bentuk pengabaian
tersebut. Malah, aksi nyata dan hasil cepat itu gagal menyelesaikan
masalah. Dengan demikian, resolusi konflik bisa dihadirkan sebagai
prinsip hidup sekaligus alternatif solusi yang betul-betul dibutuhkan.
Meminjam ide revolusioner John Burton tentang prinsip resolusi konflik, yaitu “Conflict will have to be defi ned as a problem to be resolved rather than a situation in which behaviours have to be controlled”. (Konflik harus diartikan sebagai sebuah masalah untuk diselesaikan daripada sebuah situasi ketika perilaku harus dikontrol).
Ide revolusioner ini sebetulnya kritik
Burton terhadap orang-orang realis yang menurutnya melihat masalah
sebagai agresi (lawan) sehingga menanganinya dengan agresi pula.
Pandangan Burton sejalan dengan William W
Wilmot dan Joyce L Hocker, keduanya pakar konfl ik di level
antarpribadi. Mereka mengatakan, “When conflict is viewed as a
problem to be solved instead of a battle to be won or interaction to be
avoided, creative solutions can be found.” (Ketika konflik
dipandang sebagai sebuah masalah untuk diselesaikan daripada perkelahian
untuk dimenangkan atau interaksi untuk dihindari, solusi-solusi kreatif
akan ditemukan).
Dalam konteks problem solving ala Burtonian, salah satu petunjuk mengatasi masalah pengungsi di atas ialah meninjau kembali apa kebutuhan dasar manusia (human needs) yang diabaikan di Suriah sehingga negara-negara di Eropa harus mengalami ‘darurat pengungsi’.
Pendidikan dan resolusi konflik
Karena dihadapkan pada salah satu contoh
persoalan dunia tersebut dan persoalanpersoalan kekerasan lainnya di
Tanah Air, pengetahuan dan keterampilan dalam mengasah kemampuan
memecahkan masalah menjadi penting. Pendidikan dasar dan menengah perlu
(dan memang pada esensinya) disiapkan sebagai lahan untuk menyemai
bibit-bibit pembiasaan memecahkan suatu masalah agar di kemudian hari
seseorang terbiasa mendudukkan masalah sebagai masalah, bukan demi
prinsip ‘kekalahanmu ialah kemenanganku’, dan menyelesaikan masalah
dengan cara-cara kreatif. Pendidikan di Indonesia sudah waktunya
menghasilkan pemimpin-pemimpin dunia yang berkehendak sebagai problem
solver.
Jika dikaitkan dengan proses
belajar-mengajar, pembiasaan problem solving bisa dimulai di kelas baik
antara guru dengan murid maupun murid dengan murid yang dipandu guru.
Untuk mewujudkan pembiasaan itu, menurut Matthew McKay, sarjana
komunikasi, diperlu kan pendekatan komunikasi yang bersifat kooperatif
daripada otoriter atau permisif. Kooperatif maksudnya kekuasaan terletak
pada orang dewasa (dalam hal ini guru) dan anak (murid), sedangkan
otoriter kekuasaan terletak pada guru dan permisif kekuasaan terletak
pada murid.
Masih menurut McKay, langkah-langkah
yang biasa diterapkan dalam rangka memecahkan masalah secara berurutan
ialah mengidentifi kasi dan mendefi nisikan masalah yang ada, menghasilkan
kemungkinan-kemungkinan solusi, mengevaluasi baik dan buruknya setiap
kemungkinan solusi tersebut, memilih solusi terbaik, menerapkan solusi
yang sudah dipilih, dan mengevaluasi hasil dari solusi yang sudah
diputuskan.
Dengan menggunakan komunikasi yang
kooperatif, langkah-langkah memecahkan masalah di atas bisa dilatihkan
pada anak-anak di level SD, SMP, dan SMA atau bahkan anak-anak usia TK
atau PAUD yang disesuaikan dengan bahasa mereka. Tidak hanya dari
jenjang sekolah, pengetahuan dan keterampilan memecahkan masalah juga
bisa diterapkan di semua mata pelajaran atau ketika kegiatan
ekstrakurikuler berlangsung. Dengan demikian, metode hafalan yang
dianggap sebagai cara jitu mendidik anak sudah barang tentu menjadi
tidak relevan, apakah masalah pengungsi Suriah bisa diatasi dengan
hafalan butir-butir Pancasila? Untuk keadaan tertentu seperti mengingat
istilah atau konsep, hafalan memang diperlukan, tapi manfaatnya sangat
terbatas.
Sebagaimana yang telah disinggung
sebelumnya, pendidikan di Indonesia sudah waktunya menghasilkan
pemimpin-pemimpin dunia yang berkehendak sebagai problem solver,
bukan orang-orang yang menghadiri pertemuan internasional yang mem
bahas masalah serius, tapi diam seribu bahasa karena malu, tidak punya
ide, tidak paham masalah, atau tidak peduli.
Motivasi tersebut perlu diupayakan lebih
keras mengingat pendidikan reso lusi konflik dapat menyumbangkan
keuntungan yang tak ternilai harganya terhadap pembentukan sikap dan
watak anak Indonesia sebagai calon pemimpin dunia. Misalnya,
mengedepankan arti penting kerja sama daripada kompetisi atau agresi,
kesetaraan, kedewasaan, tanggung jawab, kreativitas, visi jangka
panjang, dan yang paling penting memanusiakan manusia.
Sekali lagi, sumbangan pendidikan Indonesia untuk perdamaian internasional ialah melahirkan calon pemimpin global yang problem solver.
Impian ini hanya bisa diwujudkan melalui pendidikan yang berorientasi
pada pemecahan masalah. Beginilah kira-kira bentuk nyata sumbangan
pendidikan Indonesia yang dari dulu telah dicita-citakan menjadi bagian
tak terpisahkan dari usaha menciptakan perdamaian dunia yang abadi. Selamat memperingati Hari Perdamaian Internasional!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar