Apakah pendidikan kita selama ini telah
berhasil? Suatu pertanyaan yang terkesan sinis seolah tak menghargai
kerja keras pemerintah dan masyarakat yang telah bersusah payah
membangun dan mengembangkan pendidikan sesuai amanat konstitusi.
Pertanyaan ini seharusnya tak muncul
seandainya negara berhasil menyelenggarakan pendidikan berdasarkan
amanat konstitusi, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tampaknya negara
mengalami kesulitan dalam memaknai kata-kata mencerdaskan kehidupan
bangsa sehingga arah pendidikan di semua jenjang dan jalur menjadi tak
jelas dan belum dapat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tolok ukur keberhasilan pendidikan tidak
serta-merta mencerdaskan kehidupan bangsa, padahal penganggaran
pendidikan sangat ditentukan tolok ukur ini. Pendidikan dasar dan
menengah menggunakan tolok ukur antara lain angka partisipasi kasar
(APK) dan angka partisipasi murni (APM) serta ujian nasional (UN) dan
akreditasi sekolah. Pendidikan tinggi menggunakan tolok ukur antara lain
APK, peringkat akreditasi, publikasi ilmiah, peringkat internasional,
dan jumlah anggaran.
Pemerintah pusat melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi telah menerbitkan sejumlah standar pendidikan dan
sejumlah peraturan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Mutu
pendidikan kita, baik di tingkat dasar menengah maupun tinggi, selalu
digaungkan dengan gencar supaya masyarakat memahaminya. Perkataan mutu
jadi sedemikian penting bagi para pemangku kepentingan pendidikan
sehingga seluruh daya upaya diarahkan ke mutu pendidikan.
Persoalan yang mendasar adalah belum
adanya pemahaman yang hakiki mengenai mutu pendidikan. Mutu pendidikan
secara pragmatis diwujudkan dalam bentuk akreditasi sekolah dan
akreditasi perguruan tinggi, padahal definisi mutu hakiki adalah jauh
lebih dalam dan mendasar dibandingkan akreditasi. Definisi mutu
pendidikan yang hakiki adalah pendidikan yang mampu memberdayakan
individu maupun kelompok individu serta masyarakat pada umumnya. Mutu
pendidikan sering kali dikaitkan dengan hasil UN sekolah maupun
peringkat universitas tingkat nasional dan internasional.
Dengan pemahaman mutu pendidikan seperti
itu, sekolah dan perguruan tinggi berlomba-lomba meraih peringkat lebih
tinggi dalam akreditasi dan nilai tertinggi dalam UN. Upaya mencapai
itu semua tak mudah dan perlu dukungan finansial yang besar, bahkan
seluruh daya upaya dikerahkan untuk mencapai akreditasi dan peringkat
yang tinggi. Pertanyaannya, apakah akreditasi dan peringkat yang tinggi
akan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa
Indonesia?
Pengalaman menunjukkan bahwa akreditasi
dan peringkat lembaga pendidikan lebih memberikan manfaat bagi lembaga
itu sendiri ketimbang bagi masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama
pendidikan. Dengan akreditasi dan peringkat yang tinggi, lembaga
pendidikan tersebut dengan mudah merekrut calon peserta didik terbaik,
merekrut guru dan dosen terbaik, memperoleh insentif pendanaan lebih
tinggi, memperoleh pengakuan dari masyarakat, dan lain-lain. Dengan
demikian, lembaga pendidikan itu punya peluang mempertahankan status,
bahkan mungkin dapat meningkatkannya. Apakah dengan tingginya peringkat
dan akreditasi, tujuan pendidikan sesuai amanat konstitusi berhasil
dicapai?
Pencitraan pendidikan
Keberhasilan pendidikan atau manfaat
pendidikan terwujud jika masyarakat terdidik berdaya mampu
menyejahterakan dirinya dan meningkatkan kualitas hidupnya. Keberdayaan
masyarakat seyogianya jadi tolok ukur keberhasilan pendidikan di mana
masyarakat Indonesia menjadi masyarakat mandiri madani sejahtera. Karena
itu, perlu pendefinisian kembali tolok ukur pendidikan dengan
mencermati tingkat keberdayaan masyarakat. Selama ini tolok ukurnya
lebih bersifat pencitraan di mana lembaga pendidikan mencari akreditasi
dan peringkat tinggi, sedangkan masyarakat umumnya mencari status sosial
dengan ijazah.
Tata kelola pendidikan terjebak ke dalam
mekanisme administratif yang justru menghilangkan hakikat pendidikan.
Berbagai peraturan perundangan yang ada mengenai pendidikan di semua
jalur dan jenjang telah menjadikan pendidikan kegiatan administratif
yang birokratis, penuh pengaturan dalam setiap aspek, tak ada otonomi
dan akuntabilitas, tak ada inovasi dan kreativitas, tak ada kepercayaan
terhadap guru dan dosen.
Jika pola ini masih dipertahankan,
pendidikan di Indonesia hanya akan memberikan pencitraan dan belum
memenuhi amanat konstitusi, pendidikan telah dikerdilkan maknanya ke
arah formalitas di mana capaian yang diapresiasi adalah capaian
formalitas. Budaya pencitraan dan formalitas sudah demikian melekat di
pemerintah dan di masyarakat sehingga indikator yang menunjukkan
kemajuan pendidikan adalah semu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar