Generasi hari ini berbeda dengan
generasi sebelumnya. Generasi hari ini terlahir ketika di sekelilingnya
dipenuhi kecanggihan teknologi digital. Ketika belajar membaca dan
menulis hingga beranjak usia remaja, mereka dimanjakan oleh game online,
MP3 player, hingga yang menyita banyak waktu: media sosial.Namun
masalah selanjutnya adalah, teknologi digital (smart phone) tidak hanya
membawa sejumlah dampak positif, tapi juga sejumlah dampak negatif.
Dalam konteks pembelajaran, sejatinya smart phone bisa mendukung proses
belajar-mengajar yang dilakukan guru-murid. Proses knowledge transfer
membina karakter dan keterampilan agar yang dilakukan guru bisa berjalan
lancar.
Di samping dampak positifnya, smart
phone juga berdampak buruk. Kita kerap menjumpai remaja yang berada
dalam sebuah forum tanpa berkomunikasi satu sama lain. Generasi sekarang
seolah asyik dengan dunianya sendiri, yang dipenuhi kecanggihan
digital.
Meminjam bahasa Don Tapscott (2013),
inilah generasi acuh tak acuh. Minat mereka hanya kultur populer, para
pesohor, dan teman-teman mereka. Karena itu, transformasi pembelajaran
menjadi mutlak harus kita lakukan. Bertolak dari hal di atas, revolusi
metode pembelajaran menjadi mutlak harus kita lakukan.
Pertama, kurangi metode ceramah.
Mereka sudah bosan dengan gaya ini. Menurut Felder dan Soloman (1993):
“Pembelajar di zaman informasi ini mempunyai kecenderungan gaya belajar
aktif, sequential, sensing, dan visual.”
Kedua, fokus pada pembelajaran seumur
hidup, bukan pada mengajarkan untuk ujian semata. Yang terpenting bukan
hanya tentang apa yang mereka ketahui ketika mereka lulus, tapi juga
untuk mencintai pembelajaran seumur hidup. Para guru tidak perlu
khawatir siswanya lupa tanggal peristiwa penting dalam sejarah, karena
mereka dapat mencari informasi itu kapan saja dengan melalui buku maupun
web. Para guru perlu mengajari mereka cara belajar, gemar membaca dan
menulis, bukan hanya cara mengetahui.
Ketiga, berdayakan para siswa untuk
berkolaborasi. Dorong mereka agar bekerja sama dengan yang lain dan
tunjukkan cara mengakses sumber pengetahuan yang tersedia di web dan
lain-lain. Dalam hal ini, mungkin kita dapat belajar dari pengalaman Uri
Treisman, seorang profesor matematika di Universitas
California-Berkeley.
Melihat banyak mahasiswa kulit hitam
yang nilai kalkulus-nya sangat jelek, Prof Treisman melakukan riset
kecil. Ia membandingkannya dengan kelompok mahasiswa asal Cina, yang
semua memperoleh nilai bagus. Ia menemukan bahwa mahasiswa Cina suka
bekerja dalam kelompok, sedangkan mahasiswa kulit hitam cenderung
bekerja mandiri. Ia mengubah kondisi dan tata letak kelas serta
menerapkan sistem pembelajaran kelompok. Tak lama kemudian, prestasi
para mahasiswa kulit hitam meningkat pesat.
Guru menghadapi manusia, bukan seperti
buruh pabrik dan karyawan perusahaan yang berhadapan dengan benda mati.
Guru memiliki tugas perencanaan, pembelajaran, dan penilaian (evaluasi).
Perencanaan dilakukan sebelum mengajar di kelas dan penilaian setelah
mengajar di kelas selesai. Inilah yang diinginkan Kurikulum 2013.
Sekarang revolusi (metode) pembelajaran ada di tangan para guru di
seantero Indonesia. Apakah mereka akan melakukan revolusi? Kita tunggu
gebrakannya untuk menciptakan generasi emas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar