Perubahan kehidupan yang signifikan
kembali terjadi pada abad ke-20, baik magnitudo maupun ragamnya.
Perubahan itu didorong oleh kondisi sosio-ekonomi abad ke-19, yang
melahirkan revolusi industri, suatu revolusi yang memacu dan memicu laju
teknologi, ilmu pengetahuan, dan sosial-budaya.
Episode ini memerlukan tenaga terampil,
cerdas, dan terdidik. Pada abad ke-20, kebudayaan dunia tidak hanya
merambah jagat renik dan menemukan material baru sebagai soko guru
perubahan, tetapi juga melahirkan aksi penjelajahan alam tiga dimensi,
sebagai perluasan upaya dua-dimensional Barat menguasai wilayah baru.
Tumbuhlah etika dan gairah ilmu pengetahuan dengan metode
hipotetik-bukti yang mendikte corak pengembaran jiwa ingin tahu.
Ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya
mengait satu dengan yang lain membentuk ekologi kependidikan dan
kesadaran berkomunikasi, bernegara dan berbangsa. Walaupun negara-negara
masih tersekat batasan tradisional, tanpa sadar muncul sekat baru
tepian teknologi dan sains.
Penyekatan itu menumbuhkan cita rasa
kebangunan baru karena identitas kelas baru sebagai warga yang
berpengetahuan. Kehormatan itu tidak datang sendiri, tetapi harus
digapai dengan sistematis melalui penguasaan ilmu pengetahuan, bersama
jiwa inovasi teknologi dan penciptaan budaya pendidikan.
Adalah entitas bangsa seperti itu yang
akan tegak sebagai mercu suar kehidupan abad ke-21 berkarakter penangkal
keluruhan budaya bangsa.
Bekal diri
Terngiang seruan Pangeran Mangkubumi,
beberapa abad lalu, tatkala ingin membangun ketahanan budaya “Jawa”
(terhadap serangan asing) harus membekali diri dengan “wijayanti”-
murih bisa unggul lan muncul, dengan kekuatan akal, agar bisa unggul dan
bertahan (Ismadi, Panyebar Semangat, 30 Mei 2015).
Tahun 1947 Soekarno dan beberapa tokoh
NKRI di tengah panasnya perjuangan fisik mengumandangkan pentingnya
pendidikan keilmuan dan teknologi untuk mendudukkan bangsa Indonesia
pada kasta terhormat di antara bangsa-bangsa dunia (Lindsay dan Liem, 2011). Negara bangsa Indonesia harus memancarkan kemaslahatan, yang menjadi mercu suar pembangunan dan persaudaraan.
Penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi berguna untuk membangun mazhab ekonomi bersandar-keilmuan.
Peradaban zaman meminta pembangunan negara mengelus ekonomi pembangunan
berkelanjutan. Tokoh pendidikan Tilaar (2011) menyuarakan sikap
progresif Indonesia agar tidak mengisolasi diri dari dunia yang bergerak
cepat, terdorong oleh kemajuan teknologi dan komunikasi.
Abad ke-20 telah memunculkan perang
global yang meminta korban 43 juta manusia, tetapi bersamaan dengan itu
lahir pula kelompok bangsa dalam ranah-pinggiran perang dingin yang
sangat menghantui kemanusiaan. Abad ke-21 gambar masa depan kemanusiaan
berdimensi lain, begitu pula matrik sosial dan cara penanganannya.
Kesalahan dan teror dalam mengelola
perlombaan persenjataan nuklir dapat mengancam perjalanan bangsa di
setiap kelok peradaban. Ancaman ledakan nuklir, penghasil energi
pemusnah, harus diwaspadai.
Begitu pula bahaya lain yang berkembang
dari dalam laboratorium ilmu pengetahuan muncul. Mulai dari kekeliruan
pemanfaatan bioteknologi (sering disebut bio-error) sampai kepada
perusakan lingkungan karena tidak terkontrolnya virus buatan
(bio-terror), penyakit jenis baru, mewabahnya penyakit endemik bahkan
ancaman karsinogenik pada makanan dan udara, serta dosis radiasi rendah
yang menggelombang di mana-mana.
Ancaman alami bisa datang dari gesekan
lempeng benua maupun dari daya terkungkung dalam sembur dan ledak gunung
api. Indonesia rentan, tetapi hidup bersama dengan ancaman ini. Untuk
menghadapinya, visi mitigasi yang profetik perlu dipijah agar dapat ikut
menyediakan prasarana tepat guna saat ancaman muncul.
Melalui pendidikan ilmu kealaman dan
ilmu dasar proses mekanistik alam yang mengitari kita dapat diendus.
Bersamaan dengan itu, tumbuh pikiran afektif mendekatkan tingkah laku
manusia dengan ekologi alami.
Ulah manusia
Selimut Bumi, atmosfer, bukan hakikat
yang panggah. Selain faktor luar dapat mengubahnya, ulah manusia
sendiri ikut memberi aksen pemanasan angkasa Bumi yang dapat berakibat
lanjut kepada perusakan lingkungan.
Ilmu pengetahuan sampai kepada
kesimpulan (Hautier dkk, April 2015) bahwa perubahan lingkungan
antropogenik memengaruhi kestabilan ekosistem dan berdampak pada
keragaman hayati. Tanpa kita sadari, keragaman hayati ini kadang terusik
oleh kebutuhan manusia yang tak terkontrol. Padahal, kita harus ikut
menjaga Bumi.
Apakah makna semua itu? Peta dunia tidak
lagi tergambar dengan sekat ideologi saja. Tetapi, secara virtual
dirasakan batas teknologi dan saintifik. Hampir semua bangsa lalu
mendekatkan diri kepada penguasa pasar global, yang beratribut
penguasaan teknologi dan inovasi.
Mereka yang tidak dapat meraihnya harus
rela tergeser ke pinggiran dan tertinggal. Barangkali tidak lebih dari
setengah penduduk Planet Bumi ini yang dapat mengemban hasil pembaruan
teknologi ke dalam kaidah kemanfaatan kelompoknya.
Sisanya bukan hanya tidak ikut menikmati
perolehan abad ke-21, tetapi tertinggal dalam rongga paria abad ke-21
karena tuna-kemampuan. Torehan aib, kalau tidak lekas disembuhkan akan
bermetastase memasuki organ kelompok. Kita harus menyediakan agenda
kerja kemajuan mulai dari titik ini agar kekayaan kita dapat bermanfaat
bagi bangsa.
Kebangunan dan citra bangsa akan
terlihat jika kita ikut memoles peradaban dengan sumbangan karya,
pikiran, dan keagungan pikir. Hidup berkebangsaan di masa depan adalah
tatanan dengan resep ekonomi dan sosial sandar-pengetahuan. Bangsa
berdaya cipta, mandiri, dan kritis tanpa meninggalkan tanggung jawab
pembongkaran kemiskinan.
Berdaya cipta adalah menggenggam
pengertian dapat menghasilkan karsa-cipta asli dan khas berguna untuk
penyelenggaraan hidup terhormat. Penerjemahannya ke dalam agenda
pendidikan ialah membangkitkan strata anak bangsa yang mampu berpikir
berangkai, menyediakan berbagai pilihan khas, dan memilah yang paling
tepat untuk bangsanya.
Hal ini harus tampak pada aras pendidikan yang menyediakan modul generik untuk menaut akal dan etika.
Efisiensi sumber daya
Pendayagunaan efisien sumber alami bukan
eufimisme, tetapi memang dikedepankan bersama segenggam etika
lingkungan hidup. Sederet falsafah dan kebijakan tradisional telah ikut
mewarnai tindak kehidupan kita dan terangkum dalam budaya bangsa.
Jangan sampai budaya asing, yang kurang
empati terhadap kehidupan lingkungan, mencabut akar kebaikan itu.
Nurani dan akal sehat harus menjadi ciri pendidikan dalam abad yang
menggusur batasan geografi ini.
Paradigma pendidikan adalah pengalihan
cara berpikir linier menjadi alur jamak, menuruti rute keanekaan ragam
sains yang bertali-temali. Di samping itu, masyarakat jamak secara
kultural dan kepercayaan harus direngkuh sebagai kekayaan.
Pandangan kita terpumpun ikut mengisi
kesehatan ranah sosial masyarakat seperti itu dan membuat ilmu tidak
tersisih dari aras pengambilan kebijakan. Ini bukan soal berguna atau
tak berguna, tetapi lebih mengacu pada pemberdayaan kemampuan.
Beberapa agenda pendidikan hendaknya
digerakkan tidak sekuensial, tetapi sinergitik bersamaan. Menautkan
proses pendidikan dengan lingkungan alami merupakan ambeg parama arta di samping penyediaan warga muda memperoleh pendidikan yang transformatif.
Tentu saja merupakan kewajiban luhur
pemerintah, dan masyarakat, mengisi elemen pedagogi, menyusun tertib
didaktik, dan taat metodologi yang membawa pendidik dan peserta-didik
membangun keinginan tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar