esta demokrasi akan segera bergulir sebagai
wujud kedaualatan yang sepenuhnya berada ditangan rakyat. Pemilu adalah
sarana peralihan kekuasaan secara damai demi keberlangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Partai politik
sebagai salah satu pilar demokrasi memegang peranan penting demi
terwujudnya pembangunan demokrasi kearah yang lebih baik.
Hiruk-pikuk politik menjelang pemilu selalu membawa dampak negatif bagi
kepercayaan masyarakat pada partai politik, ditambah akumulasi
kekecewaan atas sikap partai politik yang cendrung mengabaikan aspirasi
pemilihnya serta sikap dan tingkah laku para politisi yang mengecewakan
rakyat. Akumulasi kekecewaan ini mengakibatkan terdekradasinya
kepercayaan masyarakat pada partai politik. Kondisi ini makin diperparah
dengan ulah beberapa oknum partai yang terjerat kasus korupsi.
Tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah pada partai politik jika trus
dibiarkan akan berdampak pada rendahnya tingkat partisipasi dalam
pemilu. Golongan yang tidak memeberikan hak suaranya dalam pemilu
kemudiana lebih dikenal dengan Golongan putih (Golput).
Itulah
uniknya demokrasi, ditengah gencarnya pemerintah dan partai politik
untuk memulihkan citranya ada sebagian golongan yang justru membangun
kampanye negatif untuk mendeskreditkan pemerintah dan partai politik
dengan tujuan mengacaukan pikiran pemilih hingga pada akhirnya memilih
untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Delegitimasi terhadap
partai politik bukan hanya didengungkan pada proses pemilu saja, namun
pada setiap waktu dan kesempatan, bahkan dalam skala lokal sekalipun
melalui pemilukada disetiap daerah. Kita bisa melihat dengan terang
benderang kampanye dari sebagian kalangan yg menyerukan ketidak
percayaan pada partai politik ditengah apatisnya para pemilih. Sudah
bisa ditebak apa yg akan terjadi jika hal itu terus dilakukan, tingkat
partisipasi politik yg rendah yang pada akhirnya menciderai demokrasi
itu sendiri yang melahirkan pemimpin-pemimpin daerah yg rendah kualitas
dan rendah legitimasi.
Delegitimasi juga dialami partai politik
ditingkat pusat dengan rendahnya partisipasi pemilih yang memilih partai
politik peserta pemilu.
Namun yang perlu dicermati disini adalah
bahwa sesungguhnya yang akan dirugikan dan yang menjadi korban atas
rendahnya partisipasi politik itu adalah ‘pemilih’ itu sendiri. Secara
defakto memang legitimasi akan sangat rendah namun disisi lain tindakan
tidak ikut memilih (golput) telah melegalkan ‘kursi haram’ untuk
diduduki oleh legislator/senator yang tak memenuhi syarat minimal
perolehan suara, bahkan ada sebagiannya hanya kebagian jatah partai.
Penomena ini harus menjadi perhatian kita dimana sisa kursi akibat
kurangnya jumlah suara yang masuk akan kembali diperebutkan partai
politik melalui perhitungan tahap ke dua, tiga dan seterusnya dan pada
akhirnya kursi yang kosong akan tetap diisi oleh kader partai politik
yang memperoleh suara minim sekalipun. Poin pentingnya adalah sisa kursi
yang seyogianya adalah suara mereka yang tak memilih akan dialihkan dan
dikonversikan keseluruh partai yang lolos ke parlemen dan dibagi secara
proporsional menurut perolehan suara masing-masing partai politik. Jadi
jika kita tidak memilih maka sistem akan memilihkan dengan paksa sebuah
pilihan untuk kita, dan yang pasti pilihan itu tidak pernah
terbayangkan oleh pemilih itu sendiri. Sekali lagi dalam kondisi ini
yang dirugikan adalah mereka yang tak memilih dan partai pemenang pemilu
akan mendapat limpahan suara yang cukup siknifikan.
Pembagian jatah
sisa kursi akibat rendahnya partisisipasi pemilih akan semakin
terakumulasi dengan kursi yang ‘ditinggalkan’ oleh peserta/partai yang
tak lolos ke parlemen akiabat penetapan ambang batas (parliamentary
threshold) sebesar 3.5%. Sehigga dengan kondisi ini partai politik yang
lolos ke parlemen akan semakin banyak memperoleh kursi ‘gratis’ tanpa
bersusah payah berjuang dalam kancah politik sehingga dalam
perjalanannya akan berdampak pada psikologis anggota dewan.
Jika
kondisi ini terus terjadi maka tidak perlu heran akan semakin banyak
anggota dewan yang tak memperdulikan aspirasi rakyat, toh mereka sadar
keterpilihannya juga berkat banyaknya yang tak memilih(suaranya minim)
dan secara kualitaspun juga patut dipertanyakan. Dan pada akhirnya
masyarakat jualah yang akan dirugikan dengan tingkah polah anggota
dewan.
Melalui tulisan ini penulis ingin menghimbau masyarakat yang
punya hak pilih untuk menggunakan hak pilihnya pada pemili 2014 nanti
karna sungguh kedaulatan itu ada ditangan kita. Karena sunggug memilih
itu juga dituntut untuk bertanggungjawab, maka tidak memilih adalah
sebuah tindakan yang lari dari tanggungjawab, dan lari dari tanggung
jawab adalah sebuah tindakan yang tak bijak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar