Selasa, 08 April 2014

Golput bukan pilihan bijak:)

esta demokrasi akan segera bergulir sebagai wujud kedaualatan yang sepenuhnya berada ditangan rakyat. Pemilu adalah sarana peralihan kekuasaan secara damai demi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi memegang peranan penting demi terwujudnya pembangunan demokrasi kearah yang lebih baik.
Hiruk-pikuk politik menjelang pemilu selalu membawa dampak negatif bagi kepercayaan masyarakat pada partai politik, ditambah akumulasi kekecewaan atas sikap partai politik yang cendrung mengabaikan aspirasi pemilihnya serta sikap dan tingkah laku para politisi yang mengecewakan rakyat. Akumulasi kekecewaan ini mengakibatkan terdekradasinya kepercayaan masyarakat pada partai politik. Kondisi ini makin diperparah dengan ulah beberapa oknum partai yang terjerat kasus korupsi.
Tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah pada partai politik jika trus dibiarkan akan berdampak pada rendahnya tingkat partisipasi dalam pemilu. Golongan yang tidak memeberikan hak suaranya dalam pemilu kemudiana lebih dikenal dengan Golongan putih (Golput).
Itulah uniknya demokrasi, ditengah gencarnya pemerintah dan partai politik untuk memulihkan citranya ada sebagian golongan yang justru membangun kampanye negatif untuk mendeskreditkan pemerintah dan partai politik dengan tujuan mengacaukan pikiran pemilih hingga pada akhirnya memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Delegitimasi terhadap partai politik bukan hanya didengungkan pada proses pemilu saja, namun pada setiap waktu dan kesempatan, bahkan dalam skala lokal sekalipun melalui pemilukada disetiap daerah. Kita bisa melihat dengan terang benderang kampanye dari sebagian kalangan yg menyerukan ketidak percayaan pada partai politik ditengah apatisnya para pemilih. Sudah bisa ditebak apa yg akan terjadi jika hal itu terus dilakukan, tingkat partisipasi politik yg rendah yang pada akhirnya menciderai demokrasi itu sendiri yang melahirkan pemimpin-pemimpin daerah yg rendah kualitas dan rendah legitimasi.
Delegitimasi juga dialami partai politik ditingkat pusat dengan rendahnya partisipasi pemilih yang memilih partai politik peserta pemilu.
Namun yang perlu dicermati disini adalah bahwa sesungguhnya yang akan dirugikan dan yang menjadi korban atas rendahnya partisipasi politik itu adalah ‘pemilih’ itu sendiri. Secara defakto memang legitimasi akan sangat rendah namun disisi lain tindakan tidak ikut memilih (golput) telah melegalkan ‘kursi haram’ untuk diduduki oleh legislator/senator yang tak memenuhi syarat minimal perolehan suara, bahkan ada sebagiannya hanya kebagian jatah partai. Penomena ini harus menjadi perhatian kita dimana sisa kursi akibat kurangnya jumlah suara yang masuk akan kembali diperebutkan partai politik melalui perhitungan tahap ke dua, tiga dan seterusnya dan pada akhirnya kursi yang kosong akan tetap diisi oleh kader partai politik yang memperoleh suara minim sekalipun. Poin pentingnya adalah sisa kursi yang seyogianya adalah suara mereka yang tak memilih akan dialihkan dan dikonversikan keseluruh partai yang lolos ke parlemen dan dibagi secara proporsional menurut perolehan suara masing-masing partai politik. Jadi jika kita tidak memilih maka sistem akan memilihkan dengan paksa sebuah pilihan untuk kita, dan yang pasti pilihan itu tidak pernah terbayangkan oleh pemilih itu sendiri. Sekali lagi dalam kondisi ini yang dirugikan adalah mereka yang tak memilih dan partai pemenang pemilu akan mendapat limpahan suara yang cukup siknifikan.
Pembagian jatah sisa kursi akibat rendahnya partisisipasi pemilih akan semakin terakumulasi dengan kursi yang ‘ditinggalkan’ oleh peserta/partai yang tak lolos ke parlemen akiabat penetapan ambang batas (parliamentary threshold) sebesar 3.5%. Sehigga dengan kondisi ini partai politik yang lolos ke parlemen akan semakin banyak memperoleh kursi ‘gratis’ tanpa bersusah payah berjuang dalam kancah politik sehingga dalam perjalanannya akan berdampak pada psikologis anggota dewan.
Jika kondisi ini terus terjadi maka tidak perlu heran akan semakin banyak anggota dewan yang tak memperdulikan aspirasi rakyat, toh mereka sadar keterpilihannya juga berkat banyaknya yang tak memilih(suaranya minim) dan secara kualitaspun juga patut dipertanyakan. Dan pada akhirnya masyarakat jualah yang akan dirugikan dengan tingkah polah anggota dewan.
Melalui tulisan ini penulis ingin menghimbau masyarakat yang punya hak pilih untuk menggunakan hak pilihnya pada pemili 2014 nanti karna sungguh kedaulatan itu ada ditangan kita. Karena sunggug memilih itu juga dituntut untuk bertanggungjawab, maka tidak memilih adalah sebuah tindakan yang lari dari tanggungjawab, dan lari dari tanggung jawab adalah sebuah tindakan yang tak bijak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar